Sebelum melahirkan, Andy Benson tidak pernah menyadari bahwa istrinya adalah wanita yang hebat. Intinya, jangan remehkan perjuangan ibu melahirkan.

Tak semua suami menyadari perjuangan istrinya saat melahirkan. Namun Andy Murray tidak termasuk suami jenis tersebut karena menemani istrinya melahirkan membuatnya sadar bahwa istrinya adalah wanita yang hebat.
Saat melahirkan anak pertamanya, istrinya mengalami perdarahan yang hebat dan itu memunculkan ketakutan besar di dalam dirinya. Ia tak bisa membayangkan bahwa istrinya mampu bertahan hidup setelah kehilangan banyak sekali darah.
Untuk mengenang istrinya sebagai wanita yang hebat, Andy menulis surat pengakuan suami agar para suami lain juga menyadari betapa beratnya perjuangan hidup-mati istri saat melahirkan.
Berikut ini surat yang sebelumnya dimuat di laman Fatherly:
Semua persitiwa melahirkan akan menciptakan rasa trauma. Aku tidak bisa membayangkan bahwa peristiwa itu akan dijalani dengan ‘mudah’. Tapi barangkali beberapa kasus bisa digambarkan sebagai sesuatu yang relatif mudah.
Ketika aku mengantarkan istri ke rumah sakit untuk kelahiran pertama anak kami, aku berada dalam suasana hati yang cukup tenang. Teman-teman kami sudah punya anak dan tidak ada alasan untuk berpikir bahwa melahirkan akan jadi masalah.
Aku bahkan masih bisa bercanda dengan bidan ketika kami sampai di sana. Aku sangat tenang saat itu.
Istriku tampak sedikit tidak nyaman. Tetapi tidak ada hal mengerikan yang terjadi.
Nah, pada malam harinya, istriku mengalami nyeri yang luar biasa seolah ia belum pernah merasakan itu sebelumnya. Aku melihat wajahnya ketika kontraksi nyata yang pertama terjadi.
Aku tahu bahwa dia benar-benar kesakitan.
Namun, proses ini adalah sesuatu yang sesuai dengan perkiraan. Aku merasa bahwa aku sudah berperan sebagai suami yang pernuh tanggung jawab, suami yang memberi dukungan penuh pada istri, dan seorang yang simpatik.
Istriku akhirnya meminta suntikan epidural pada pukul 3:00 pagi (kami sudah berada di rumah sakit sejak jam 11 malam), dan mereka melakukannya dengan ringkas. Aku pun pergi keluar untuk sekedar minum kopi.
Ketika aku kembali, istriku tampak benar-benar tenang dan santai.
“Nah, oke deh. Semua baik-baik saja,” pikirku.
Kami bahkan masih sempat tidur.
Sekitar pukul 07:00, aku terbangun di kursi teras ruang persalinan. Bidan mengatakan bahwa sudah waktunya untuk mulai mendorong bayi keluar dari rahim istriku.
Kami berada di ruang bersalin. Proses mendorong bayi keluar dimulai.
Aku memegangi salah satu kaki istriku karena kakinya kebas dan ia juga tak bisa memindahkan kakinya sendiri.
Proses mengeluarkan bayi dimulai dan usaha terus dilakukan. Pada titik ini, aku mulai menyadari bahwa hal ini adalah sesuatu yang cukup sulit untuk istriku.
Anda tidak akan pernah melihat bahwa bahkan orang-orang yang suka berolahraga di pusat kebugaran akan cukup terlatih menghadapi masa-masa seperti ini. Tiga jam sudah berlalu dan bayi belum juga muncul.
Situasi terakhir menunjukkan bahwa tidak ada tanda-tanda adanya lekukan U. Sehingga para tenaga medis mengatakan padaku bahwa prosedur operasi cesar harus dilakukan.
Aku baru saja akan menanggalkan sarung tangan dan maskerku ketika seorang tenaga medis berkata, “Aku pikir kami bisa mengeluarkan bayimu dengan tindakan menggunakan forceps.”
Terdengar seperti ide bagus bagiku.
Jadi, kami mencoba lagi dan kaki istriku ditopang tinggi, dan aku merasa, “Wow, hal ini memang cukup berbeda. Proses ini tidak seperti yang terlihat di televisi.”
Istriku mencoba mendorong lagi. Persoalan serius sedang terjadi di antara kedua kaki istriku.
Dokter bedah Perancis ini menggunakan forceps untuk menarik kepala bayi keluar. Dia menarik bayi tersebut dengan seluruh kekuatannya, sampai-sampai otot lengannya tampak terlihat nyata.
Akhirnya, kepala bayi muncul dan perasaanku sungguh tak karuan. Ini benar-benar terjadi dan segalanya tampak begitu menakjubkan.
Aku terus mengatakan kepada istriku, “kamu berhasil!”
Aku segera mengumumkan jenis kelamin bayi kami sekalipun aku sempat keliru mengucapkannya dengan menyebut sebagai bayi laki-laki.
Istriku mengoreksi dan berkata bahwa kami mendapatkan bayi perempuan. Kami semua tertawa.
Hal itu adalah bercandaan terakhir yang berlangsung untuk sementara. Tenaga medis bertanya padaku apakah aku ingin memotong tali pusar bayi?
Tentu saja, aku akan melakukannya! Aku akan bersikap selayaknya seorang ayah yang bisa dibanggakan, bukankah begitu?
Aku mendekati dokter dan istri, lalu memotong tali pusar yang tampak seperti daging bacon. Pandanganku lalu jatuh pada organ pribadi istriku. Darah mengalir deras dari sana.
Hal itu mengingatkan aku pada air bak mandi yang meluap karena kepenuhan. Kemudian, tiba-tiba, segala suka cita lenyap.
Aku pergi ke putriku yang baru lahir. Anak kami sedang berbaring di dada istriku dan melihat hal itu membuat jantungku berdebar keras.
Saya memberitahu tenaga medis bahwa rasanya aku akan pingsan. Kemudian, mereka mendudukkanku di kursi.
Kamu tahu rasanya saat bangun di pagi hari, dan tidak tahu apakah itu adalah hari Sabtu atau Senin? Apakah kamu harus bekerja hari itu?
Pikiran itulah yang terlintas di kepalaku saat petugas medis menyadarkanku saat pingsan di kursi selama beberapa saat. Untuk beberapa saat aku baik-baik saja sampai akhirnya aku kembali dalam mimpi buruk.
Petugas medis yang berada di ruangan bersalin istriku jumlahnya kini dua kali lipatnya dari tadi.
Mereka bekerja tanpa suara dengan profesional saat menangani istriku yang makin memucat, tangannya mencengkeramku kuat-kuat dan wajah istriku tampak kesakitan.
Seorang ahli bedah memeriksa jalan lahir istriku dan bidan tampak sedang memijat perutnya. Mereka tidak bisa menghentikan perdarahan.
Wajah mereka tampak sangat tegang, beberapa perawat bahkan gemetaran. Aku jadi sangat ketakutan.
Kepala perawat berlutut di depanku dan mengatakan kepadaku bahwa mereka sedang mencoba untuk menghentikan perdarahan. Mereka bertanya apakah aku ingin mendekap anakku saat itu.
Aku memeluk anakku. Dia belum menangis dan hanya hanya menatapku dengan pandangan mata yang dalam, gelap, dan dengan kerlip mata bayi yang baru lahir dengan indah.
Anakku tidak mengeluarkan suara apapun. Aku bilang padanya bahwa segalanya akan baik-baik saja. Aku terus mengatakan padanya dan tentu saja kepada diri sendiri.
Kenyataan yang sebenarnya adalah aku tidak tahu apa yang terjadi. Aku belum pernah merasakan ketakutan seperti ini.
Oke, aku rasa sudah cukup ceritanya. Maaf. Terima kasih sudah membaca sampai akhir.
Proses melahirkan memang bisa jadi sesuatu yang terasa sangat dramatis. Istriku kehilangan hampir 3 liter darahnya.
Artinya, ia kehilangan setengah dari seluruh suplai darahnya. Jika Anda kehilangan darah sebanyak itu di pinggir jalan saat kecelakaan, maka Anda akan mati.
Dia kehilangan sebagian besar darahnya dalam waktu 10 menit. Istriku tidak menyadari betapa gawatnya situasi yang terjadi.
Ia baru mengetahuinya setelah dokter mengatakannya saat ia sudah mulai sadar. Rasanya, aku bisa mencium bau darah selama seminggu penuh setelah ia melahirkan.
Aku tidak bisa mengatakannya kepada siapa pun tentang hal itu selama berbulan-bulan tanpa menangis. Aku pun menulis ini sambil menangis.
Akhir yang kami jalani berlangsung dengan kebahagiaan. Tentu saja aku sangat menyadari ini dan aku bersyukur untuk itu.
Aku pikir mungkin aku memiliki semacam PTSD (Post Trauma Stress Disorder atau Gangguan Trauma Paska Stres) dari pengalaman tersebut.
Tapi aku baik-baik saja.
Putri keduaku lahir dua bulan yang lalu. Kelahirannya memiliki cerita tersendiri yang berbeda dengan kelahiran kakaknya yang pertama.
Trauma mendalam yang dialami Andi Benson mengajarkan kita bahwa perjuangan hidup-mati istri untuk keselamatan diri dan bayinya itu nyata adanya. Penulis ini memilih untuk menghadapi traumanya dengan cara menulis pengalamannya dan membaginya kepada para pembaca.
Apakah sebagai suami, Anda mengalami trauma juga saat menemani istri melahirkan? Apakah istri juga mengalami perdarahan yang hebat saat melahirkan? Bagikan pengalaman Anda di kolom komentar ya, Parents…