Beginilah Hukumnya Menghadiahkan Al-Fatihah Untuk Nabi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Berikut Penjelasannya…
Mengirim doa kepada mayit, atau keluarga yang meninggal, menurut beberapa madzab diperbolehkan dan dapat memberikan kemanfaatan pada si mayit, ada pula yang melarangnya, bagaimana jika doa dikirimkan kepada Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam boleh atau tidak? simak penjelasan berikut

Hukum Kirim Al-Fatihah untuk Nabi


Pertanyaan :

Bolehkah menghadiahkan al-Fatihah untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Sering saya lihat pas ada acara-acara di tempat saya.

Matur suwun

Jawab :

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits dari Dewan Pembina Konsultasisyariahdiantara prinsip yang perlu pahami, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan pahala atas semua amal yang dilakukan umatnya. Karena beliau-lah yang pertama kali mengajarkan amal itu kepada umat manusia. Kemudian turun-temurun diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, hingga sampai ke kita.

Dan manusia akan diberi pahala dari amal yang dia lakukan dan amal orang lain yang mengikutinya.

Allah berfirman,

إِنَّا نَحْنُ نُحْيِي الْمَوْتَى وَنَكْتُبُ مَا قَدَّمُوا وَآَثَارَهُمْ وَكُلَّ شَيْءٍ أحْصَيْنَاهُ فِي إِمَامٍ مُبِينٍ

“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata.”
 (QS. Yasin: 12)

Ayat ini menjelaskan bahwa yang dicatat oleh Allah tidak hanya amal kita, tapi juga dampak dan pengaruh dari amal kita.

Dalam hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا

Siapa yang mengajak kepada kebaikan maka dia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. (HR. Muslim 6980 dan Abu Daud 4611).

Dalam hadis lain, dari Jarir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ

Siapa yang mengajarkan amalan baik dalam islam, lalu diikuti oleh orang generasi setelahnya, maka dicatat untuknya pahala seperti orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun.
 (HR. Muslim 6975)

Semua ini menunjukkan bahwa setiap ibadah yang kita lakukan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam turut mendapatkan pahalanya. Baik kita hadiahkan ke beliau maupun tidak kita hadiahkan. Hanya saja, ada yang perlu dipertimbangkan,

[1] Jika pahala itu tidak kita hadiahkan, maka pahala itu tetap menjadi milik kita, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mendapatkannya.

[2] Jika pahala itu kita hadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka pahala itu tidak bisa kita miliki.



Karena itulah, para sahabat tidak melakukan hal ini, menghadiahkan pahala amal untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Imaduddin Ibnul Athar muridnya an-Nawawi pernah ditanya,

هل تجوز قراءة القرآن وإهداء الثواب إليه صلى الله عليه وسلم وهل فيه أثر؟

Bolehkah membaca al-Quran dan menghadiahkan pahalanya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam? Adakah dalil praktek sahabat dalam masalah ini?

Jawaban yang beliau sampaikan,

أما قراءة القرآن العزيز فمن أفضل القربات ، وأما إهداؤه للنبي صلى الله عليه وسلم فلم ينقل فيه أثر ممن يعتد به ، بل ينبغي أن يمنع منه ، لما فيه من التهجم عليه فيما لم يأذن فيه ، مع أن ثواب التلاوة حاصل له بأصل شرعه صلى الله عليه وسلم ، وجميع أعمال أمته في ميزانه

Membaca al-Quran, termasuk amal soleh yang sangat utama. Akan tetapi, menghadiahkannya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pernah ada nukilan yang bisa dipertanggung jawabkan. Bahkan sebaliknya, selayaknya amalan ini dicegah karena termasuk membebani diri yang tidak disyariatkan. Sementara pahala bacaan al-Quran juga beliau dapatkan, disebabkan beliau yang pertama kali mensyariatkannya. Dan semua amal umatnya juga sama. (Mawahib al-Jalil, 3/520).

Kemudian juga dinyatakan oleh as-Sakhawi – murid Ibn Hajar al-Asqalani – beliau ditanya tentang orang yang membaca al-Quran, lalu dia hadiahkan pahalanya untuk menambah kemuliaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Jawaban beliau,

هذا مخترع من متأخري القراء لا أعلم لهم سلفا فيه

Ini perbuatan bid’ah, yang dibuat-buat oleh para pembaca al-Quran geenerasi belakangan ini. Saya tidak mengetahui adanya ulama pendahulu untuk mereka dalam masalah ini.
 (Mawahib al-Jalil, 3/520)

Syaikhul Islam memiliki satu catatan dalam masalah ini, berjudul: Ihda’us Tsawab ila an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menyimpulkan,

لم يكن من عمل السلف أنهم يصلُّون ويصومون ويقرؤون القرآن ويهدون للنبي صلى الله عليه وسلم ، كذلك لم يكونوا يتصدقون عنه ، ويعتقون عنه ؛ لأن كل ما يفعله المسلمون فله مثل أجر فعلهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئاً

Tidak pernah ada amalan para sahabat, bahwa mereka shalat, puasa, atau membaca al-Quran, kemudian mereka hadiahkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka juga tidak bersedekah atau membebaskan budak atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena semua yang dilakukan kaum muslimin, beliau mendapatkan pahala seperti pahala amal mereka, tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun
. (Ihda’ ats-Tsawab ila an-Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 125).

Meskipun ada juga ulama yang membolehkan. Mereka berdalil dengan praktek Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau pernah umrah atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun riwayat ini tidak jelas, dan dinilai lemah para ualama.

Diantara yang membolehkan adalah al-Buhuti – ulama hambali – beliau mengatakan,
كل قربة فعلها المسلم وجعل ثوابها أو بعضها كالنصف والثلث أو الربع لمسلم حي أو ميت جاز ذلك 
ونفعه ذلك، لحصول الثواب له، حتى لرسول الله صلى الله عليه وسلم
Semua ibadah yang dilakukan muslim, dan dia hadiahkan semua pahalanya atau sebagiannya, seperti setengah, sepertiga, atau seperempat kepada muslim yang lain, baik masih hidup atau sudah mati, hukumnya boleh dan bisa bermanfaat bagi penerima. Sampaipun untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Kasyaf al-Qina’, 2/147).

Hanya saja pendapat ini tidak tepat, karena tidak didukung dalil atau praktek para sahabat di masa silam. Sementara mereka sangat mencintai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka tidak menghadiahkan amalnya untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.





Baca juga :